AHL AL-KITAB (2/4)
Al-Qur'an juga
menyatakan bahwa,
"Apabila
mereka condong kepada
salam (perdamaian), maka
condong pulalah kepadanya,
dan berserah dirilah
kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui"
(QS Al-Anfal [8]: 61).
Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa pun
mereka, walau Yahudi
- tetap dituntut
oleh
Al-Qur'an.
Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw.
pernah cenderung
mempersalahkan seorang Yahudi
yang tidak
bersalah -
karena bersangka baik
terhadap keluarga kaum
Muslim yang
menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh
Allah dengan
menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105.
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan
membawa
kebenaran, supaya engkau
mengadili antar manusia
dengan apa yang
Allah wahyukan kepadamu.
Dan janganlah
engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah)
karena
(membela)
orang-orang yang khianat."
APAKAH AHL
AL-KITAB SEMUA SAMA?
Di atas
telah dipaparkan sebagian
dari ayat-ayat yang
berbicara tentang
Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat
negatif mereka.
Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat di
atas berlaku umum,
menyangkut semua Ahl
Al-Kitab kapan
dan di mana pun mereka berada?"
Penggalan terakhir
surat Al-Ma-idah [5]:
59 di atas
menyatakan bahwa
banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),
perlu digarisbawahi untuk
menjawab pertanyaan ini.
Hemat
penulis,
penggalan tersebut paling tidak
menunjukkan bahwa
tidak semua mereka bersikap demikian.
Kesimpulan ini didukung dengan sangat
jelas paling tidak
dalam dua ayat
berikut:
"Banyak dari
Ahl Al-Kitab yang
menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran
setelah kamu
beriman, karena
dengki yang timbul dari dalam
hati mereka
setelah nyata
bagi mereka kebenaran. Maka
maafkanlah dan
biarkanlah
mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu" (QS
Al-Baqarah [2]: 109).
Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir
yang seharusnya diterjemahkan
banyak, bukan kebanyakan
sebagaimana
dalam Al-Qur'an dan
Terjemahannya oleh
Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu
padahal
mereka (sebenarnya)
tidak menyesatkan kecuali diri
mereka
sendiri, dan
mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran
[3]:
69)
Kalau melihat
redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa dalam konteks
upaya pemurtadan, maka
tidak semua
mereka bersikap
sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan
yang ditujukan
kepada kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang
yang beriman, jika
kamu mengikuti
sekelompok dari
Ahl Al-Kitab, niscaya
mereka akan
mengembalikan
kamu menjadi orang-orang kafir sesudah
kamu
beriman" (QS
Ali 'Imran [3]: 100).
Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan
Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa,
"Mereka itu
tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada
golongan
yang berlaku
lurus. Mereka membaca
ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga
bersujud"
(QS Ali 'Imran [3]: 113) .
Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan
informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang
jika kamu mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan
di antara
mereka ada juga
yang jika kamu
percayakan
kepadanya satu dinar
(saja) tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali selama kamu
berdiri (selalu menagihnya).
Yang
demikian itu karena
mereka berkata (berkeyakinan) bahwa
tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap
orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah
padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75).
Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian
Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan
antar sesama mereka
sangatlah hebat. Kamu
menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah"
(QS Al-Hasyr [59]: 14).
BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB
Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena
itu sikap yang diajarkan
Al-Qur'an terhadap mereka
pun
berbeda, sesuai dengan sikap mereka.
Dalam sekian banyak
ayat yang menggunakan
istilah Ahl
Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat,
walaupun di sana-sini
Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
dalam keyakinan.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu
berdebat dengan Ahl
Al-Kitab, melainkan
dengan cara yang
sebaik-baiknya, kecuali terhadap
orang-orang yang zalim di
antara mereka" (QS
Al-'Ankabut
[29]: 46).
Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki
Al-Qur'an dan
Terjemahnya Departemen Agama
- dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim"
dalam ayat di
atas adalah mereka yang
setelah diberi penjelasan
dengan
baik, masih tetap
membantah, membangkang, dan
menyatakan
permusuhan.
Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak
termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat),
dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui
kaum
Muslim sebagai umat
beragama Islam, jangan diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam
konteks ini
Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat
antara
kita yang tidak ada perselisihan di antara kami
dan kamu,
yakni bahwa kita
tidak menyembah kecuali Allah,
dan kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula
sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari Allah. Jika mereka berpaling,
maka katakanlah
(kepada mereka), 'Saksikanlah
(akuilah) bahwa kami adalah
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada
Allah)" (QS
Ali 'Imran [3]: 64).
Sekali lagi penulis
katakan "sebagian mereka,"
karena
Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl
Al-Kitab ada orang
yang
beriman kepada Allah,
dan kepada apa yang diturunkan kepada
kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka
sedang mereka
berendah hati kepada
Allah, dan mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat
cepat
perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).
Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan
tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer
di antara mereka
adalah Abdullah bin
Salam. Al-Qurthubi
dalam tafsirnya meriwayatkan
bahwa ketika turun
firman
Allah:
"Orang-orang yang
telah Kami beri
Al-Kitab (Taurat dan
Injil)
mengenalnya (Muhammad saw.)
sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146).
Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah
engkau
mengenal
Muhammad sebagaimana engkau
mengenal anakmu?"
Abdullah
menjawab, "Ya, bahkan
lebih. (Malaikat) yang
terpercaya turun dari
langit kepada manusia yang terpercaya
di bumi, menjelaskan
sifat (cirinya), maka
kukenal dia;
(sedang anakku) aku
tidak tahu apa yang telah dilakukan
ibunya."
AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN
Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an perlu
kiranya
kita menoleh ke
sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad
saw. Sepuluh tahun
lamanya beliau
melaksanakan misi
kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di
sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota
Makkah
sendiri penganut
agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak ada. Musuh
pertama dan utama
ketika itu adalah
orang-orang
Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an
sebagai al-musyrikun.
Penindasan kaum musyrik
di Makkah terhadap
kaum Muslim,
memaksa sebagian kaum
Muslim melakukan hijrah pertama
ke
Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik
oleh Negus,
penguasa yang beragama Nasrani.
Masyarakat
Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu
Aus dan Khazraj,
serta orang-orang Yahudi
yang memiliki
kekuatan ekonomi yang
cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan dan berperang.
Tidak jarang pula
terjadi
perselisihan dan permusuhan
antara mereka dengan
orang
Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu
melelahkan semua
pihak; sayang tidak
ada di antara
mereka yang memiliki
wibawa yang dapat
mempersatukan
kelompok-kelompok yang
bertikai ini.
Orang-orang
Yahudi sering mengemukakan
kepada Aus dan
Khazraj, bahwa
akan datang seorang
Nabi (dari kelompok
mereka), dan bila
ia datang pastilah
kaum Yahudi akan
mengalahkan
musuh-musuhnya. Dalam konteks
ini Al-Qur'an
menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa,
"Setelah
datang kepada mereka
Al-Qur'an dan Allah yang
membenarkan apa yang ada
pada mereka, padahal
sebelumnya
mereka biasa memohon (demi
kedatangan Nabi yang dijanjikan)
untuk mendapat kemenangan
atas orang-orang kafir,
maka
setelah datang kepada
mereka apa yang mereka ketahui mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah
atas orang-orang
yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89).
Yang dimaksud dengan
"membenarkan apa yang ada pada mereka"
adalah kehadiran seorang
Nabi, yang dalam
hal ini Nabi
Muhammad saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka
biasa memohon"
adalah bahwa orang
Yahudi Khaibar berperang melawan
Arab
Gathfan, tetapi mereka
dikalahkan, maka ketika
itu
orang-orang
Yahudi berdoa, "Kami
bermohon kepada-Mu demi
Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami
di akhir zaman,
menangkanlah kami atas mereka" sehingga
mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.
Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa
keengganan mereka
beriman
disebabkan oleh karena
"kedengkian dan iri hati
mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 109).
Tadinya mereka menduga
bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata
dari
golongan Arab yang merupakan seteru mereka.
Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi
dan Nasrani hampir
tidak ada di
kota Makkah. Itu pula
sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim
utusan ke
Madinah untuk memperoleh
"pertanyaan berat" yang
dapat
diajukan kepada Nabi
Muhammad dalam rangka
pembuktian
kenabiannya.
Ketika itu orang-orang
Yahudi Madinah
menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa
itulah
yang melatar belakangi turunnya firman Allah:
"Mereka bertanya
kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan
Tuhanku.' Kamu
tidak diberi pengetahuan
kecuali
sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).
Kehadiran Nabi
Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh
Aus dan Khazraj bukan saja
sebagai pemersatu mereka
yang
selama ini telah
lelah bertempur dan mendambakan perdamaian,
tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah
utusan
Allah, yang sebelumnya
telah mereka ketahui kehadirannya
melalui orang-orang Yahudi.
Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di
Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka
tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka
juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.
(bersambung ke 3/4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar