Imam Syafi'i, memahami
istilah Ahl Al-Kitab,
sebagai
orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel,
tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi
dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan
Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada
bangsa-bangsa
lain. (Juga karena
adanya redaksi min qablikum
[sebelum
kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu).
Pendapat
Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah
dan
mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun
yang mempercayai
salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah
diturunkan Allah, maka
ia termasuk Ahl
Al-Kitab. Dengan
demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila
ada satu
kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur
(yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja,
maka ia pun
termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat
ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama
salaf, yang
menyatakan bahwa
setiap umat yang memiliki kitab yang dapat
diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup
oleh pengertian Ahl
Al-Kitab, seperti halnya
orang-orang
Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas
lagi oleh para
mujtahid (pakar-pakar hukum)
kontemporer,
sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu,
dan
dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh
pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab
suci
(samawi) .
Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur
Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah
seorang pengikut Imam
Syafi'i, demikian juga
Ahmad ibn
Hanbal,
berpendapat bahwa kaum
Muslim dapat menikmati
makanan
sembelihan orang-orang Majusi,
dan dapat pula
mengawini wanita-wanita mereka.{6}
Uraian panjang lebar menyangkut hal
ini dikemukakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya
bermula dan
pertanyaan seseorang dari
Jawa (Indonesia) tentang
hukum
mengawini
wanita-wanita penyembah berhala
semacam
orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).
Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara
panjang
lebar riwayat- riwayat
yang dikemukakan oleh para sahabat
Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta
menyimak dan menimbang
pendapat para ulama
sebelumnya,
menyimpulkan fatwanya sebagaõ berikut:
"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa
laki-laki Muslim yang
diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik
dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik
Arab. Itulah pilihan
yang dikuatkan oleh
Mahaguru para
mufasir Ibnu Jarir
Ath-Thabari, dan bahwa
orang-orang
Majusi,
Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan
yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang
adalah Ahl
Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai
sekarang.{8}"
Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95
(At-Tin)
menjelaskan bahwa sementara
pakar pada masanya
memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri
agama
Budha
(memperoleh wahyu-wahyu Ilahi),
kemudian Al-Qasimi
menegaskan bahwa:
"Dan yang lebih kuat
menurut pandangan kami
bahkan yang
pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia
(Budha)
adalah seorang Nabi yang benar.{9}"
Penulis cenderung
memahami pengertian Ahl
Al-Kitab pada
semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun
dan dari
keturuunan siapa pun
mereka. Ini, berdasarkan
penggunaan
Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya
terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani),
dan
sebuah ayat dalam Al-Qur'an,
"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan
bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami. dan
sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa
yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).
Namun demikian, kita
dapat memahami pandangan
yang
menyatakan bahwa selain
orang Yahudi dan Nasrani seperti
penyembah berhala non-Arab dan sebagainya,
walaupun tidak
termasuk dalam kategori
Ahl Al-Kitab, tetap
dapat
diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.
Ini berdasarkan sebuah hadis
Nabi yang diriwayatkan
oleh
Imam Malik dalam
kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis
ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap
Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan
redaksi:
"tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini
wanita
mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka
semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula
terhadap mereka.
Sebagian lainnya menilai
hadis tersebut berstatus mursal
yakni sahabat Nabi
yang mendengar atau menerima hadis
tersebut dari beliau
tidak disebut dalam rentetan transmisi
riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut
dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan
argumentasi keagamaan.
Sahabat Nabi Abdullah
bin Umar mempunyai
pendapat lain.
Beliau secara tegas
melarang perkawinan seorang pria Muslim
dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah
orang-orang musyrik. Ia mengatakan,
"Saya tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar dari
keyakinan seorang yang berkata bahwa
Tuhannya adalah Isa
atau salah seorang dari hamba-hamba Allah."
Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek
sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman,
Ibnu
Abbas, Thalhah, Jabir,
dan Khuzaifah, demikian pula para
pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:
1. Dalam sekian
banyak ayat, Al-Qur'an
menyebut istilah
al-musyrikun
berdampingan dengan Ahl
Al-Kitab, dengan
menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."
"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang
musyrik tidak
menginginkan
diturunkannya suatu kebaikan
kepadamu dan
Tuhanmu. (QS Al-Baqarah [2]: 105).
Kata penghubung semacam
ini mengandung makna
adanya
perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti
ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl
Al-Kitab. Demikian
juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6.
Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
al-musyrikun dalam
Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat
tinggal di Makkah.
2. Al-Qur'an sendiri
telah menguraikan sekian
banyak
keyakinan. Ahl Al-Kitab,
yang pada hakikatnya merupakan
kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas,
atau bahwa Uzair
demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun
demikian, seperti terlihat
dalam butir pertama
di atas,
Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok
tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.
Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal uraian ini,
sangat
teliti dalam
redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang
untuk terjadinya kerancuan
dalam istilah-istilah Ahl
Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.
Atas dasar itu,
hampir seluruh sahabat
Nabi, tabi'in,
ulama-ulama masa awal
dan kontemporer tidak
sependapat
dengan Abdullah Ibnu Umar.
Penulis dapat memahami
pendapat tersebut dengan
memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal
sangat berhati-hati serta
amat gandrung meniru Nabi dalam
segala sikap dan
tindakannya. Kehati-hatian dan
kegandrungannya
itulah yang menjadikan beliau
begitu ketat
dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan
kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur'an.
Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak
sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan
dengan alasan yang
dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat
dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga
yang tidak mudah
dapat terjalin
apabila pasangan suami
istri tidak sepaham
dalam ide,
pandangan hidup atau
agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam
kumpulan
fatwanya bahwa tujuan
utama dibolehkannya
perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah
agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam
penghubung
cinta dan kasih
sayang. Sehingga terkikis
dari benak
istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik
sang suami Muslim yang
berbeda agama itu sehingga tercermin
secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.
Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau
anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari
akidah Islam, maka
ini bertentangan dengan
tujuan
dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut
disepakati - untuk dibubarkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat
positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja
sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab
serta
penganut agama lain,
dalam bidang kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi.
2. Kecaman yang terdapat
dalam Al-Qur'an, lebih
banyak
tertuju kepada orang
Yahudi, dan kecaman tersebut lebih
banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.
3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan,
namun
keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.
4. Pengertian Ahl
Al-Kitab dan cakupan
makna, serta
implikasinya
dalam kehidupan sehari-hari
- istimewa
menyangkut
perkawinan dan memakan
binatang halal hasil
sembelihan mereka - diperselisihkan oleh para ulama. Dengan
kata lain, tidak
wajar seseorang dianggap menyimpang dari
ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah
diuraikan di atas,
dan dalam saat
yang sama sikap
kehati-hatian yang diambil oleh sekian
banyak umat dapat
dinilai sebagai sikap terpuji.
Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab. []
Catatan kaki:
{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS Al-Maidah [5]:
5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.
--------------------------------------------------------------------------------WAWASAN
AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931
Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar