AHL AL-KITAB (3/4)
Kembali kepada persoalan
di atas, ditemukan
bahwa
ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam
sebuah ayat, seringkali
menjelaskan siapa yang dimaksud
dengan istilah
tersebut. Hal ini
wajar karena Al-Qur'an
secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak
sama dalam
sifat dan
sikapnya terhadap Islam dan kaum
Muslim (QS Ali
'Imran [3]: 113).
Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang
dapat menimbulkan
kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an
tidak jarang
memberi penjelasan tambahan
yang berkaitan
dengan sifat atau
ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan misalnya
ayat yang berbicara tentang
kebolehan
kawin dengan
wanita Ahl Al-Kitab, di sana
ditambahkan kata
wal muhshanat (wanita-wanita
yang memelihara kehormatannya),
sedang ketika
berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan
mereka, Al-Qur'an
mengemukakannya tanpa penjelasan
atau
syarat.
MENGAPA ADA
KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?
Kebanyakan
kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan
kepada
orang Yahudi,
bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan
karena sejak
semula ada perbedaan sikap
di antara kedua
kelompok Ahl
Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan
kembali
penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).
Ketika Romawi
yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari
Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih,
dan Al-Qur'an
turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa
dalam jangka
waktu tidak lebih dari sembilan
tahun, Romawi
akan menang, dan
ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam
Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri
yang terdekat,
dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa
tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang)
dan di hari
(kemenangan bangsa
Rumawi) itu
bergembiralah orang-orang yang
beriman karena
pertolongan
Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya,
dan Dialah
Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang" (QS Al-Rum
[30]: 1-5).
Sikap penguasa
Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim.
Ini antara
lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan
yang diberikan
oleh penguasa Ethiopia yang beragama
Nasrani
kepada kaum Muslim
yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas
Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya
kamu pasti akan menemukan
orang-orang yang
paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang
beriman
ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang
musyrik, dan
sesungguhnya pasti
kamu dapati yang
paling dekat
persahabatannya dengan
orang-orang beriman adalah
orang-orang yang
berkata, 'Sesungguhnya kami
ini orang
Nasrani" (QS
Al-Ma-idah [5]: 82).
Sebab pokok
perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi terhadap
kehadiran seorang Nabi yang tidak
berasal
dari golongan
mereka (QS Al-Baqarah [2]:
109). Kehadiran
Nabi kemudian
mengakibatkan pengaruh orang
Yahudi di
kalangan masyarakat
Madinah menciut, dan
bahkan
menghilangkan pengaruh
politik dan kepentingan
ekonomi
mereka.
Di sisi lain,
seperti pernyataan Al-Qur'an di atas,
sebab
kedekatan
sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:
"Karena di
antara mereka terdapat
pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, dan
juga karena sesungguhnya
mereka tidak
menyombongkan
diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)
Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib
yang mencerminkan sikap
zuhud (menjauhkan diri
dari
kenikmatan duniawi
dengan berkonsentrasi pada
ibadah),
berhasil pula memberi
contoh kepada lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak
adanya kekuatan
sosial politik
dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga tidak
ada faktor yang
mengundang gesekan dan
benturan antara
kaum Muslim dengan mereka.
Ini bertolak
belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta
mereka dikenal luas menerima sogok,
memakan
riba, dan
masyarakatnya pun amat materialistis-individualis-
tis.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa penyebab utama
lahirnya
benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi
atau
golongan,
kepentingan ekonomi, dan politik,
walaupun harus
diakui bahwa kepentingan
tersebut dapat dikemas
dengan
kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.
Ayat-ayat yang
melarang kaum Muslim
mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin
yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan
Yahudi dan Nasrani
serta selain mereka,
harus
dipahami dalam
konteks tersebut, seperti firman Allah dalam
surat Ali-'Imran [3]: 118:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi
teman
kepercayaanmu orang-orang yang
di luar kalanganmu,
(karena) mereka
tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang
menyusahkan
kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang
disembunyikan oleh
hati mereka adalah
lebih besar lagi.
Sungguh telah
Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu
memahaminya."
Ibnu Jarir
dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan
dengan sikap orang Yahudi
Bani Quraizhah
yang mengkhianati
perjanjian mereka dengan
Nabi saw.,
sehingga seperti
ditulis Rasyid Ridha
dalam tafsirnya:
"Larangan ini
baru berlaku apabila mereka memerangi atau
bermaksud jahat
terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha,
mengkritik dengan sangat
tajam pandangan
beberapa ulama
tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari
- yang
menjadikan ayat ini
sebagai larangan bersahabat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi
menguatkan pendapatnya itu
dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,
"(Kaum
Muslim dan mereka)
tidak saling melihat
api
keduanya."
Maksudnya
seorang Muslim tidak
wajar bertempat tinggal
berdekatan dengan non-Muslim
dalam jarak yang
seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi
tidak dalam
konteks umum seperti
pemahaman Al-Baidhawi, tetapi
dalam
konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan
bantuan. Dalam arti,
Nabi menganjurkan umat Islam untuk
tidak tinggal di
tempat di mana
kaum musyrik bertempat
tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna
mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
Di sisi lain, hadis tersebut
sebenarnya berstatus mursal,
sedangkan para ulama
berselisih mengenai boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:
"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir
Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka
terhadap
ayat dan hadis
menjadi dangkal, apalagi
keduanya
(Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya
memiliki sedikit
pengetahuan
hadis, dan keduanya
pun tidak banyak merujuk
kepada pendapat salaf
(ulama terdahulu yang
diakui
kompetensinya).{1}"
Dalam bagian lain
tafsirnya, Rasyid Ridha,
mengaitkan
pengertian larangan di atas
dengan larangan serupa
dalam
Al-Qur'an:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar
kalanganmu,
(karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata
kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS
Ali Imran [3]: 1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah
maka larangan itu
muncul,
sehingga ia hanya
berlaku terhadap orang
yang cirinya
demikian, kendati
seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan
seorang Muslim.
"Sebagian
orang tak menyadari
sebab atau syarat-syarat
tersebut,
sehingga mereka berpendapat
bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan
agama. Seandainya
larangan tersebut
mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum
Mukmin pada awal
masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat
ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat
tersebut, karena Allah
swt. yang menurunkan
mengetahui
perubahan sikap pro
atau kontra yang dapat terjadi bagi
bangsa dan pemeluk agama.
Seperti yang terlihat
kemudian
dari orang-orang Yahudi
yang pada awal masa Islam begitu
benci terhadap orang-orang Mukmin, namun
berbalik menjadi
membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang
Mesir yang membantu
kaum Muslim melawan Romawi." {2}
Dari sini dapat
ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan
kerja sama, lebih
lebih mengambil sikap tidak bersahabat.
Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang
Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada
siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim
dengan
motivasi
keagamaan atau mengusir
kaum Muslim di negeri
mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang
dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}
Atas dasar itu pula
sejumlah sahabat Nabi
bahkan Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah
Ahl Al-Kitab, dengan
dalih bahwa
mereka enggan memeluk
Islam. Demikian Al-Qurthubi
ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk,
tetapi Allah yang
memberi petunjuk siapa
yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta
yang baik yang
kamu
nafkahkan
dijalan Allah, maka
pahalanya adalah untukmu
jua.{4}"
Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan
oleh
Al-Qur'an memelihara
rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
pemeluk agama lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia.
dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang
menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang
sama Al-Qur'an membenarkan kaum
Muslim
memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita
mereka yang menjaga kehormatannya.
SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?
Di atas telah
dikemukakan bahwa para
ulama sepakat
menyatakan bahwa Ahl
Al-Kitab adalah orang
Yahudi dan
Nasrani. Namun para
ulama berbeda pendapat tentang rincian,
serta cakupan
istilah tersebut. Uraian
tentang hal ini
paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an
ketika
mereka
menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan
mengawini
wanita-wanita
yang memelihara kehormatannya.
Al-Maududi,
seorang pakar agama Islam
kontemporer, menulis
perbedaan pendapat
para ulama tentang
cakupan makna Ahl
Al-Kitab yang
penulis rangkum sebagai berikut: {5}
Catatan kaki:
{1} Baca lebih
jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir
Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir
Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al
Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah
Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.
(bersambung ke 4/4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar